Judul buku : Bittersweet Love
Penulis : Aditia Yudis & Netty Virgiantini
Harga : Rp 47.000
Halaman : 252
Terbit : Maret 2012
Penerbit : Gagas Media
Blurb :
Ketika waktu membawakan pilihan-pilihan lain untukku, langkahku masih terbelit oleh ingatan tentangmu. Kasih sayang yang seluruhnya milikku pun harus terbagi. Bahkan, rumah tak lagi menjadi tujuanku untuk pulang.
Kini aku menyadari bahwa semua sudah berganti dan yang bisa kulakukan hanyalah menghadapi. Semua yang telah lewat tak mungkin bisa kembali. Apa yang kupikir lenyap, nyatanya tertutup emosi. Butuh waktu untuk belajar mencintai lagi. Dengan penuh keyakinan diri aku melakukannya.
Menerima. Cinta sesederhana itu saja.
What Cizu think?
Hmm.. gue direkomendasikan novel ini oleh Tammy (dan minjem dari dia juga, haha), karena menurutnya novel ini bagus. Sayangnya, gue nggak sependapat dengan dia.
Bukan, bukan karena novel ini jelek. Hanya saja, gue memang nggak menyukai tipe novel kayak gini. Too much drama.. Dan setiap hal dalam novel ini tampak didramatisir oleh mbak-mbak Pengarangnya.
Sebelum ngelanjutin alasan-alasan kenapa gue nggak begitu menyukai novel ini, gue akan cerita sedikit tentang novel ini. Novel ini merupakan salah satu judul dari sekian banyak novel Duet Gagas (bukan, bukan nama duo grup kayak Davichi :p) lainnya. Kebetulan gue belom baca judul lainnya, sehingga buku ini menjadi novel Duet Gagas pertama dan satu-satunya yang pernah gue baca. Cukup tahu aja, siapa tahu abis ini ada yang mau minjemin juga gitu. x3
Karena proyek duet, jadi ada dua part dalam novel ini yang masing-masing part dikerjakan oleh penulis yang berbeda. Sudut pandang Nawang, dikerjakan oleh Mbak Netty. Sedangkan sudut pandang Joanna, dikerjakan oleh Aditia Yudis.
Cerita diawali dengan adegan Nawang yang sedang terlibat tawuran dengan anak-anak lelaki, dimana ia menjadi satu-satunya perempuan di daerah pertikaian itu. Orangtua Nawang telah bercerai dan masing-masing telah memiliki keluarga baru. Gara-gara itu, Nawang menjadi super galau. Ia tidak dapat menerima keluarganya yang dulu hangat dan akrab, sekarang sudah terpecah. Ibunya menikah lagi dengan mantan kekasihnya (ayah dari Joanna), sehingga harus membagi kasih sayangnya yang dulu hanya menjadi milik Nawang.
Joanna sendiri, baru ditinggal pergi Ibundanya yang meninggal karena kanker. Ia tidak dapat menerima ibu barunya, yang sampai kapanpun, menurutnya tidak akan pernah bisa menggantikan posisi Ibundanya. Jadilah, Joanna ini sedikit berkelakuan kasar pada ibu Nawang.
Kurang lebih, itulah konflik yang disuguhkan dalam novel ini.
Entah karena guenya yang udah nggak remaja lagi atau gimana, sehingga konflik tadi terkesan berlebihan. Tokoh-tokohnya sangat ababil (Ya iyalah, namanya juga abege. Gimana sih u, Nciz?) dan selalu ngerasa galau. Padahal ya, banyak juga kok remaja yang ortunya cerai tapi masih bisa menjalani hidup sebagai remaja normal dan ceria. Jadi ya, gue sama sekali nggak bisa merasa simpatik terhadap tokoh-tokoh ini.
Satu hal yang kurang diperhatikan oleh mbak-mbak penulisnya adalah bagaimana kehidupan Nawang selama ibunya menjadi single parents. Apa ibunya bekerja? Dan bagaimana ibunya Nawang dengan ayahnya Jo bisa menikah? Ayah Jo sebelumnya tinggal di Bandung bukan? Bagaimana cara mereka bertemu dan akhirnya menikah, sayang sekali itu nggak diceritakan dengan detil di sini. Sehingga banyak pertanyaan yang akhirnya nggak terjawab.
Bagian kedua juga berjalan lambat. Jo terus saja mengulangi kata-kata "aku ingin pulang" "aku mau bunda" sepanjang cerita. Dan ini membosankan. Kalimat pernyataan "Artan adalah satu-satunya teman Jo" itu juga terkesan berlebihan. Masa iya sih begitu pindah ke Solo semua komunikasi dengan teman-temannya di Bandung langsung terputus? Padahal Jo punya iPhone, jadi seharusnya dia juga mengenal Twitter, dsb.
Pesan moral yang diangkat dari kedua cerita ini sesungguhnya cukup bagus. Tapi cerita tentang anak korban perceraian sepertinya sudah terlalu umum. Mungkin akan lebih seru kalo ceritanya tentang dua anak korban poligami. :P
Rating : 2/5 bintang.
0 komentar:
Posting Komentar